Langsung ke konten utama

Janji Santri - Lomba Menulis Cerpen Santri

Janji Santri


Deretan santri ramai memadati jeruji dekat kamar sambil bertukar cerita yang mereka dapat dari sekolah.
Sampai panggilan pengurus terdengar ,,ayo jamaah ,,jamaah,,,jamaaah. Para santri segera berhamburan ketempat keran wudlu dan ke kamar mandi
jamaah ashar pun dilaksanakan dengan hikmat lengkap sudah rasa lelah yang telah terbasahi dengan ditutup oleh kegiatan qubailal maghrib dan pembacaan sholawat alaika, ciri ciri khas pondok Bustanul Ulum yang di asuh oleh Kiai Mansur  di Kota Lamongan.
  Usai jama’ah pandangan mata Fatimah menatap kosong deretan al-Qur’an yang tertata rapi, fikiranya terus berlarian teringat ayah dan ibunya yang di Surabaya banting tulang mencari nafkah untuk membiayainya sekolah dan nyantri.
Nenek Fatimah melarangnya keras untuk ia kembali ke kota asal, dikarnakan takut akan pergaulan dikota metropolitan yang bebas tanpa aturan jika tidak dikendalikan, berat hati Fatimah meninggalkan kota, orang tua apalagi kini ia dilingkungan baru yang semuanya serba ada  peraturan, hukuman.
Ia dihadapkan dua pilihan dari neneknya nikah atau makan bangku sekolah???
Pilihan yang membuatnya lumpuh, dari pada menikah ia berjanji akan menyelami bangku sekolah dengan amanah.
saat terhanyut dengan lamunan   tiba tiba asna menghampiri dan mengulurkan sepucuk surat beramplop biru muda.” Maaf kak Fatimah  ini ada titipan surat dari gus toha”  kata asna sambil berbisik takut kedengeran santri lain yang duduk disamping fatimah .
 “surat ???? maksudnya ini surat apa asna??” tayak Fatimah sambil menutup kitabnya, asna hanya senyum tanpa ada kata  dan pergi meninggalkan fatimah .rasa deg deg kan menghujam hatinya segera Fatimah menuuju kamar.
 ”awan mendung menyapa malamku dikala hati sedang merindu parasmu,paras elok dibalik jilbapmu melindungi syahwat dari nafsu celaka,paras yang sepanjang waktu aku tunggu,paras yang selalu membuatku tak sanggup menatapnya lama lama,bukan kutak bisa,aku hanya tak sanggup meredahkanya,meredahkan paras mulia dengan mata penuh dosa.ungkapan hati suci ini semoga dibalas rasa tulus tanpa paksa agar bertabur manis semanis iman yang tergambar diwajahmu.
.
Guratan mendung merengkuh dalam hati Fatimah ia terus bertasbih saat membaca kata kata indah terjaga,dari seorang alim nan berilmu yang selalu hadir dalam mimpi indahnya. gus toha selalu membuatnya gemetar, kaku kemerahan kini melayangkan sebongkah ungkapan hati yang selama ini dirasakan ia rasakan.
“astagfirullah hal adzim,ampuni hamba yarobb rencana engkau lebih indah dari rencana hamba yang penuh akan dosa, redahkanlah rasa kagum tak menentu ini karna tujuan hamba kesini berjanji untuk mencari ilmu untuk mendapat ridhomu yarobb”
            Fatimah kembali melipat surat amplop biru itu, ia menatap kaca bagaimana bisa santri baru seperti ia yang belum bisa apa-apa mendapat kata manis dari Gus Toha.
“ tidak-tidak…tidak, ku harus tetap bertahan , ku sudah janji pada ayah ibu dan nenek akan serius mencari ilmu” . guman hati Fatimah.
“ Hayo… kenapa ngelamun…belum betah di pesantren yah…” ilma salah satu santri lama menggodanya.
“ Gak tau, aku lagi  bingung kak!!!!”
“Kenapa Fatimah?”
“Sebelumnya apa yang membuat mbak bertahan di kehidupan pesantren sampai bertahun-tahun???”
Ilma menatap Fatimah sambil tersenyum kecut bercampur manis.
“Fatimah, cobak kamu jalani dulu bismillah kehidupan di pesantren gak se ekstrim yang orang di luar bayangkan, apa kamu tau Fatimah???” ilma menghentikan kata katanya sambil mengambilkan kitab ya ayuhal walad
“Gak tau “ jawab Fatimah polos.
“Gak semua orang bisa  mengenyam pesantren apa lagi kamusudah terbiasa hidup  dikota semuanya serba ada dan bisa di jangkau,     menjadi santri itu pilihan dari allah,,, beruntung kamu di pilih Allah menjadi santri semoga kita sampai mati tetap menjadi santri”
Fatimah terus mendengarkan nasihat hangat dari ilma pengurus  kompleknya.
            Hari demi hari Fatimah mencoba membuang ke malasan saat    berlangsung padatnya kegiatan, membuang  ke egoisan jika menemui banyak teman yang berbeda pemikiran, membuang  ke marahan jika yang dilakukan tidak sesuai dengan keinginan.
Dari awal melawan rasa kantuk bangun tidur untuk segera sholat jamaah hajat. Mengaji terkadang belum sempat mandi, mengantri makan dan melewati hukuman-hukuman jika ia meninggalkan peraturan. Semua itu ia jalani karna janjinya menjadi santri.
Tiga tahun berjalan Fatimah sudah terlupa akan kesenangannya di kota Surabaya, ia lebih senang dengan keseharianya di pesantren. Waktu liburan pondok pun ia tidak tergugah untuk pulang, Fatimah lebih memilih bersih bersih pondok dan membantu keluarga Ndalem.
   Selepas shalat maghrib kiai masrur memanggil guz toha, diruang tamu yang penuh akan kitab kuning itu, gus toha yang baru saja pulang dari pesantren kewagean,  menghadap penuh takdzim pada abahnya. senyum menawan yang bertebaran diwajah gus toha tergambar di wajah teduhnya.
“Ilmu yang kamu dapat sudah cukup untuk menemani dan melanjutkan perjuangan kakak-kakakmu merintis pondok”
Guz Toha yang tidak faham kemana alur pembicaraan abahnya hanya terdiam.
“Menikahlah” lanjut abahnya
Perasaan senang campur takut mendengar abahnya memintaknya untuk menikah. Ia seneng karna ini kesempatan dan waktu terbaik untuk menyampaikan pada abahnya bahwa ia pernah dua tahun yang lalu berkirim surat ke salah satu santri abahnya sebelum ia kembali nyantri di kewagean. Namun,,,guz toha juga takut apakah abahnya punya santri lain yang akan di jodohkan dengannya.
Guz toha yang masih menundukan kepala , tiba tiba abahnya memanggil salah satu santri dari arah Dapur ndalem.
“Fatimah…fatimah…kesini nak”
Deg,, jantung gus toha berasa terpompa dengan cepat, keringatnya berbutir-butir jagung.
Langkah kalem Fatimah dengan berbalut krudung biru yang pernah guz Toha lihat di sudut taman pesantren, kini hadir di depan mata. Fatimah duduk dengan mata tertunduk
“Putraku yang terakhir baru saja pulang dari pesantren kewagean, kamu pun  sudah melewati pahit manis di pesantren, jika kamu berkenan, ku ingin kamu menemani toha dalam ikatan suci untuk melanjutkan panji panji janji santri”
Air mata bahagia Fatimah terlihat jelas dipelupuk matanya,,,ia teringat surat beramplop biru dua tahun yang lalu, namun ia abaikan semua itu karena ingin serius menyelami kehidupan nyantri ingin menepati janji keluarganya menjadi santri.
Kini janji suci santri terbalas Allah dengan kesempatan mengabdi kepada suami putra seorang kiai.
Ilmu yang didapat Fatimah di keseharianya dipesantren ia transferkan kepada anak-anak kecil Tpq Di Surabaya…yang ia rintis dari Nol dengan suami tercinta. Namun tidak meninggalkan tangung jawabnya di pesantren Lamongan. Hanya saja, untuk meminimalisir kehidupan bebas di Surabaya khususnya pada anak-anak , yang kebetulan di dekat rumah Fatimah ada lembaga formal, jadi ia mencoba membuka wadah untuk wadah keagamaan. Guz toha medukung penuh cinta keinginan dan semangat istrinya menemani anak-anak belajar.
Fatimah tersenyum sendiri teringat dulu neneknya menentang keras ia sekolah di kotanya sendiri, teryata ada hikmahnya, terbayang jika ia tidak berada di kehidupan pesantren mungkin tidak akan bisa seperti ini.
            Masyarakat sekitar begitu antusias putra-putrinya belajar mengaji di TPQ nurul ghomam yang didirikan guz  toha dan Fatimah, tidak hanya mengaji,menghafalkan al qur an, tapi juga jamaah dhuhur, jamaah ashar,jamaah maghrib, jamaah isya’,jamaah shubuh dilaksanakan bersama guna mengembleng kader-kader kecil.
Mau tidak mau anak-anak yang masih kecil tidak berani berangkat jamaah sendiri , mereka sebagian besar mengajak orang tuanya untuk ikut bersama anaknya.
Dari sinilah, solidaritas kekeluargaan terbagun, hingga mudah untuk guz toha kembali menanamkan sedikit sedikit bumbu pesantren di kota Istrinnya.
            Membangun bangunan yang berlandaskan azaz agama islam tentunnya tidak mudah jika tidak dilapisi ilmu pengabdian dari pesantren.


#smknu1bu
#ponpesbu
#lombamenuliscerpensantri
#kejuruanbustanululum
#radarbangsa

Komentar